“Aku menikmati
kesederhanaan hidupku”. Masih kuingat jelas kalimat itu. Ia mengucapkannya
sewaktu mengobrol denganku di dekat tanggul kali. Entah mengapa, aku memang
kagum padanya, sosok lelaki sebayaku, Adriyan. Kagum pada kepribadiannya,
kebijaksanaannya, kesederhanaannya, kepeduliannya, kepandaiannya, kerendahan
hatinya, pandangan hidupnya dan mungkin aku memang sedikit mengagumi hatinya
hingga aku lebih memilih untuk menuliskan kisah tentangnya.
Delapan tahun
mengenalnya, kurasa aku paham dengan latar belakang kehidupan Adriyan. Meski
kami berbeda keyakinan, kami selalu bisa untuk saling menghormati.
Dulu, Adriyan adalah sosok yang periang,
namun ia berubah menjadi pendiam, jarang senyum dan sering menyendiri semenjak
ibunya meninggal karena sakit, dua bulan sebelum usianya genap dua belas tahun.
Meski seperti memiliki luka hidup yang parah, tapi ia selalu bisa
menyembunyikan dan tak ingin membaginya pada orang lain. Luka hidupnya
benar-benar ia bawa sembunyi saat berada di dekat orang lain.
Kepergian ibunya benar-benar membawa
kehancuran bagi dirinya. Hari-harinya hambar, hanya ditemani oleh adiknya yang
hobi ngelayab dan ayahnya yang bekerja
sebagai karyawan sehingga jarang pulang. Ayah Adriyan menjadi sosok yang mudah
marah dan otoriter semenjak ibu Adriyan meninggal. Mungkin beban mental karena
kepergian ibunya juga dirasakan oleh ayahnya.
Namun di balik kepergian ibunya, kurasa
ada banyak perubahan pada sosok Adriyan. Dia lebih senang menghabiskan waktunya
untuk menghibur anak-anak di panti asuhan yang letaknya tak jauh dari rumahnya.
Aku heran, apa yang dia lakukan rasanya seperti kisah dalam sinetron-sinetron.
Tapi aku juga sadar, ternyata tak selamanya kisah dalam sinetron itu khayalan.
Terbukti, kisah itu terjadi pada sahabatku, Adriyan.
“Sebenarnya apa yang membuatmu lebih
menyukai aktivitas bersama anak panti itu?” tanyaku berulang kali.
“Mereka membuatku lebih semangat untuk
menghadapi hidup ini. Aku sadar, aku lebih beruntung dari mereka yang tak punya
siapa-siapa lagi. Aku tak bisa untuk terus tenggelam dalam kesedihanku. Aku
tahu, jika aku terus terpuruk, maka ibuku di sana pasti akan sedih melihatku.
Aku bersyukur, Tuhan masih mengijinkan aku bernafas untuk memperbaiki hidupku
dan paling tidak aku bisa memberikan manfaat untuk orang lain”, jawabnya.
Aku terkejut dengan jawaban itu.
Berulang kali kutanya ia dengan pertanyaan yang sama, hanya jawaban itu yang
kudengar. Kurasa itu bukan sosok Adriyan yang kukenal dulu.
Bukan hanya itu perubahan yang kurasakan
pada sosok Adriyan, ia juga menjadi sosok yang sangat bijak. Banyak sekali
kalimat-kalimat “sakti bin mandraguna”
yang sering ia ucapkan hingga membuatku lebih mensyukuri hidup ini. Sekarang dialah motivatorku !
***
Hari
itu Adriyan pergi bersama teman-temannya ke sebuah sungai untuk memancing.
Sebelumnya ia telah berpamitan dengan ayahnya yang setengah tertidur. Ia
berangkat setelah ayahnya memberi ijin. Tugas rumah seperti mencuci baju dan
membereskan rumah telah ia lakukan. Ya, memang begitulah Adriyan, dia
benar-benar menggantikan posisi ibunya.
Pagi itu Adriyan sengaja belum memasak
karena ia ingin memberi kejutan di hari ulang tahun ayahnya dengan cara
memancing ikan nila lalu memasaknya sebagai kado. Namun malang, ia dan temannya
tak kunjung mendapatkan ikan. Seharusnya, pukul 08.00 ia sudah harus pulang
supaya ayahnya tidak kecewa karena sarapannya telat. Tapi ia tak sanggup jika
harus membeli ikan nila karena ia tak memegang uang sepeserpun. Mungkin semua
uang tabungannya telah ia gunakan untuk kepentingan anak-anak panti asuhan.
Akhirnya, Adriyan memutuskan untuk menuju sebuah restoran sederhana di pingir
jalan milik seseorang yang sudah lama ia kenal. Karena tak mempunyai uang,
untuk sementara ia menggadaikan jam tangannya dengan dua ekor ikan nila bakar
pada pemilik restoran dengan harapan ia bisa menebus jam tangan itu suatu saat.
Adriyan enggan berhutang meskipun pemilik restoran mengijinkannya, karena ia
tak ingin melihat ayahnya memakan makanan hasil berhutang, apalagi hari itu
adalah hari ulang tahun ayahnya.
Di
rumah, ayah Adriyan telah menantinya di teras. Baru saja Adriyan menginjakkan
kaki di halaman rumah, ia sudah mendapatkan gertakan dari ayahnya. Kali ini
ayahnya memang benar-benar marah.
“Dari mana saja kamu? Masih pagi sudah ngelayab tanpa ijin!” gertak ayahnya.
Rupanya ayah Adriyan memberikan ijin
pagi itu dengan kondisi setengah tertidur sehingga Adriyan dianggap pergi tanpa
ijin karena ingin lari dari pekerjaan rumahnya. Namun, ayahnya tak memberi
kesempatan padanya untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi, sehingga pagi
itu niat baik Adriyan dibalas dengan pukulan keras menggunakan sapu lidi oleh
ayahnya. Bungkusan ikan nila bakar yang telah ia hias dan akan ia persembahkan
untuk ayahnya, terhempas di tanah. Perlahan air mata Adriyan menetes.
Siang
harinya, Adriyan meminta tolong adiknya untuk memberikan bungkusan ikan nila
pada ayah. Meski bungkusan itu sempat terlempar dan jatuh di tanah, tapi ia
berhasil menyelamatkan isinya dan memperbaiki bungkusan itu. Di atas bungkusan
itu, ia tulis ucapan dan harapan serta doa untuk ayahnya. Walau ia tak yakin kata-kata
rancangannya itu akan dapat memperbaiki citranya di depan ayah, tapi setidaknya
Adriyan menulis kata-kata itu dengan penuh perasaan.
Ia meminta tolong adiknya, Vergan karena
ia yakin ayahnya lebih merespon apa yang dilakukan oleh Vergan. Entah apa
salahnya hingga ia begitu dibedakan.
Sesaat setelah ia
meminta tolong Vergan untuk memberikan nila bakar itu pada ayah, Adriyan pergi
tanpa memberi tahu ayah dan adiknya. Mungkin Adriyan masih merasa sangat
tertekan dengan sikap ayahnya, sehingga ia lebih memilih untuk menghibur diri.
Ia berjalan menuju tempat favorit barunya, panti asuhan. Anehnya, di panti
asuhan itu, ia yang semestinya dihibur justru berbalik menghibur anak-anak
panti asuhan. Ia terlihat begitu bahagia, seolah-olah anak-anak di panti asuhan
itu adalah obat bagi kesedihannya.
***
Aditya
Fatah Hilmy, sosok lelaki sebaya Adriyan yang mungkin menjadi salah satu alasan
mengapa Adriyan selalu betah berlama-lama di panti asuhan itu. Adriyan telah
menganggap Fatah sebagai saudaranya semenjak ia mengenalnya di panti asuhan,
saat usia mereka menginjak tiga belas tahun. Fatah memang menjadi penghuni
panti asuhan itu karena sejak kecil ia belum pernah merasakan bagaimana bahagianya
memiliki orang tua. Adriyan dan Fatah selalu akrab, saling menghormati dan
sering bertukar pendapat. Fatah selalu membantu Adriyan untuk melancarkan
misinya memberi kejutan pada anak-anak panti asuhan.
Suatu
hari, Adriyan merasakan kejanggalan. Tak seperti biasanya, hari itu Fatah
terlihat sedang tidak enak badan. Sepertinya Fatah merasakan sakit yang amat
dahsyat hingga ia pingsan saat Adriyan mengajaknya jalan santai di sekitar area
persawahan.
Sembari
menunggu Fatah siuman, Ibu Retno, kepala panti asuhan berkata pada Adriyan
bahwa empat bulan yang lalu Fatah divonis menderita penyakit kanker otak
stadium akhir. Sisa umur Fatah sudah tidak lama lagi. Sepertinya, Fatah menahan
rasa sakit yang dahsyat, namun rasa sakitnya itu tertutup oleh semangat
hidupnya yang besar sehingga tak ada satupun warga panti asuhan yang mengetahui
hal ini, kecuali Ibu Retno. Ibu Retno yang semula tidak ingin membuka rahasia
Fatah pada Adriyan mendadak berubah pikiran. Menurut Ibu Retno, Fatah tak mau
Adriyan mengetahui penyakitnya, sebab ia khawatir jika nantinya Adriyan akan
memperlakukan dia layaknya orang yang sakit-sakitan karena sebenarnya Fatah
tidak mau diperlakukan seperti orang yang sakit-sakitan.
Adriyan
merasa bersalah karena secara tidak langsung, ia telah membuat Fatah pingsan. Lama
tak siuman, Ibu Retno segera membawa Fatah ke rumah sakit. Kondisi Fatah sudah
sangat kritis. Nafasnya sudah tidak konstan lagi, wajahnya pucat pasi, badannya
dingin. Adriyan sangat menyesal, ia seharusnya menjadi orang pertama yang
mengetahui keadaan Fatah. Adriyan begitu mengkhawatirkan Fatah. Andai saja
Adriyan tahu kondisi Fatah, tentu ia akan memberi perlakuan khusus pada Fatah,
ia akan menjaga dan melindungi Fatah.
Karena
kondisi Fatah sudah sangat mengkhawatirkan, ia segera ditangani dokter di ruang
UGD. Adriyan menunggunya di luar ruang UGD bersama Ibu Retno dengan rasa
khawatir. Malam itu, Adriyan memang sengaja menginap di rumah sakit agar ia
dapat mengontrol kondisi Fatah setiap saat. Adriyan selalu memohon pada Tuhan
agar Fatah selamat. Beruntung, Tuhan masih memberi kesempatan pada Fatah untuk
menikmati hidup meski dalam kondisi lemah. Setelah tiga hari menjalani rawat
inap di rumah sakit, Fatah diijinkan pulang oleh dokter.
Seminggu
setelah kepulangan Fatah dari rumah sakit, kondisi Fatah sudah lumayan membaik.
Adriyan memiliki sebuah misi besar yang melibatkan Fatah di dalamnya yaitu
membuat pesta kecil sebagai bentuk rasa syukur atas kesembuhan Fatah. Meski
hanya pesta kecil, tapi Adriyan begitu semangat untuk melancarkan misinya esok.
Tiga
jam sebelum pesta kecil itu dimulai, Adriyan bersama Fatah dan anak-anak panti
asuhan sibuk menyiapkan beberapa makanan ringan yang belum sempat mereka
siapkan kemarin. Di sela-sela waktu sibuk mereka, Fatah mendadak aneh. Fatah
meminta tolong Adriyan untuk membelikannya tiga buah sabun mandi dengan aroma
melati. Adriyan sedikit kebingungan, namun ia hanya berfikir, mungkin saja
Fatah ingin tampil menarik dalam pesta kecil yang ditujukan untuk dirinya itu.
Karena sebentar lagi pesta hendak dimulai, Adriyan segera berlari mengambil
sepeda lalu memacunya menuju toko di seberang jalan raya. Ia tidak terlalu
menuruti kata-kata Fatah, yang jelas Adriyan membelikan Fatah sabun, entah
aroma melati atau bukan dan jumlahnya hanya ada satu.
Dalam
perjalanan pulang, perasaan Adriyan mendadak tidak enak. Ia merasa bersalah
karena tidak menuruti permintaan Fatah untuk membeli tiga buah sabun mandi
beraroma melati. Namun, ia tak berpikir panjang. Ia segera kembali ke panti
asuhan agar tidak terlambat untuk pesta kecil itu.
Sesampainya
di panti asuhan, Adriyan melihat suasana yang sedikit kacau. Ia bergegas menuju
aula panti asuhan untuk memastikan apa sebenarnya yang terjadi. Ia melihat
anak-anak sedang mengerumuni Fatah yang terduduk lemas di sofa. Ia khawatir
telah terjadi sesuatu dengan Fatah. Setelah berhasil menembus kerumunan
anak-anak, betapa kagetnya Adriyan saat melihat Fatah dengan mata terpejam dan
muka pucat pasi. Badan Fatah dingin seperti bongkahan es, namun anehnya bibir
Fatah tersenyum seolah-olah memberi syarat bahwa ia baik-baik saja. Adriyan
mendapati Fatah sudah tidak bernafas lagi. Dengan tangan yang bergetar, Adriyan
memeriksa denyut nadi Fatah. Namun, ia tetap tidak menemukannya. Adriyan putus
asa, lalu ia menghempaskan tubuhnya di lantai. Perlahan air matanya keluar dan
kini yang terdengar hanyalah suara isak tangis anak-anak panti asuhan.
Pagi
itu, pesta kecil kebahagiaan yang semula sebagai bentuk rasa syukur atas
kesembuhan Fatah, mendadak berubah menjadi acara yang menyedihkan untuk
menghantarkan Fatah ke tempat peristirahatan terakhirnya. Selamat jalan, Fatah.
Adriyan
sangat bersedih atas kepergian Fatah. Berulang kali ia berdoa pada Tuhan untuk
kesehatan dan kesembuhan Fatah hingga ia lupa berdoa untuk dirinya sendiri.
Namun, Tuhan belum mengabulkan doanya. Beberapa tahun yang lalu, Tuhan
mengambil ibunya dan kini, Tuhan mengambil Fatah. Adriyan memang kecewa, karena
orang-orang yang ia sayangi pergi meninggalkannya. Tapi ia sadar, Tuhan lebih
menyayangi mereka hingga Ia mengambilnya. Jalan satu-satunya hanyalah bangkit
dari kesedihan dan bertahan dalam keikhlasan. Adriyan paham, ia harus jadi yang
terbaik untuk membahagiakan mereka.
Aku kagum pada Adriyan,
saat Tuhan sedang tidak mengabulkan doanya, ia tetap tegar dan tabah. Sesaat
setelah aku memberinya sebuah pertanyaan, ia justru memberiku pelajaran hidup
dari kata-kata yang ia ucapkan, “Saat
Tuhan mengabulkan doa kita, kita tahu bahwa Tuhan mampu. Dan saat Tuhan tidak mengabulkan doa kita,
Tuhan tahu bahwa kita mampu”. Itulah sedikit kisah tentang motivatorku, Adriyan
yang selalu bisa tegar dan bijaksana, meski ia kerap terjatuh dalam kesedihan.